Macaseo.com - Dalam dunia esports, taunting dikenal sebagai aksi menggoda atau memprovokasi lawan, bisa lewat kata-kata, gestur, hingga ekspresi wajah. Bentuknya pun bermacam-macam: ada yang berteriak lantang usai menang ronde, melakukan selebrasi berlebihan di atas panggung, menatap lawan penuh percaya diri, atau sekadar melempar chat singkat yang menusuk di dalam game.
Kini, taunting bukan lagi sekadar “bumbu tambahan,” melainkan atraksi yang dinanti penonton. Momen saling ejek antar tim mampu menghidupkan atmosfer pertandingan, bahkan sering kali viral dan jadi bahan obrolan hangat komunitas. Tak jarang, adegan itu tercatat sebagai bagian ikonik dalam sejarah turnamen.
Bagi pemain dan tim, taunting juga punya efek lebih dari sekadar hiburan. Aksi ini bisa memicu adrenalin, menyalakan kepercayaan diri, dan menular ke rekan setim. Saat satu pemain berani tampil dominan lewat taunting, momentum bisa berbalik, membuat tim lebih berani mengambil keputusan penting di momen krusial.
Lebih dari itu, taunting merupakan senjata psikologis. Tujuannya sederhana: mengganggu fokus lawan. Begitu emosi terpancing atau konsentrasi buyar, peluang kesalahan lawan pun terbuka lebar. Sementara di sisi lain, tim yang melancarkan taunt justru merasa semakin percaya diri dan mendominasi jalannya pertandingan.
Bagi pendatang baru atau rookie, taunting bahkan bisa jadi jalan pintas untuk menarik perhatian publik. Dengan aksi provokatif, nama mereka bisa cepat dikenal media dan fans. Tapi ada syaratnya: performa tetap harus solid. Tanpa permainan yang mendukung, taunting malah bisa jadi bumerang dan menimbulkan stigma “cari sensasi.”
Tak bisa dipungkiri, taunting sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem esports. Layaknya bumbu pada masakan, ia memberi rasa yang membuat pertandingan lebih hidup. Tanpa taunting, jalannya laga bisa terasa datar dan kehilangan dinamika emosional yang membuat penonton betah.
Meski begitu, tetap ada batasannya. Penyelenggara turnamen perlu memberi aturan jelas: taunting boleh dilakukan, tapi tidak boleh melewati garis. Ia sebaiknya hanya menjadi sarana hiburan dan strategi mental, bukan alat untuk menyinggung hal-hal sensitif atau memicu keributan di luar konteks pertandingan. Konten negatif seperti SARA maupun pornografi wajib dihindari demi menjaga profesionalitas.
Dengan regulasi yang tepat, taunting akan terus menjadi elemen yang memperkaya dunia esports, menghadirkan warna tanpa mengorbankan sportivitas.